Asal Usul Nama Kota Surabaya
Jawa Timur - Indonesia
Surabaya
adalah sebuah kota besar di Indonesia yang sekaligus sebagai ibukota
Provinsi Jawa Timur. Asal usul nama kota yang berjuluk “Kota Pahlawan”
ini memiliki banyak versi, mulai dari versi sejarah hingga versi cerita
mitos. Menurut sejarah, nama kota ini sudah muncul sejak awal Kerajaan
Majapahit, yakni dikenal dengan nama Ujung Galuh. Namun karena sebuah
peristiwa, maka daerah itu dinamakan “Surabaya” yang berarti “selamat dari bahaya”. “Surabaya” sendiri diambil dari simbol ikan sura atau
hiu (selamat) dan buaya (bahaya) untuk menggambarkan kepahlawanan
tentara Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya melawan pasukan Tar
Tar (Mongol). Lalu, bagaimana asal usul nama “Surabaya” menurut versi
mitos? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Usul Nama Surabaya?
* * *
Dahulu, di perairan sebelah utara Jawa Timur, hiduplah seekor baya atau buaya dan seekor sura
(hiu) yang saling bermusuhan. Kedua binatang buas yang sama-sama
tangkas, kuat, dan ganas tersebut hampir setiap saat berkelahi untuk
memperebutkan mangsa. Mereka kerap bertarung hingga berhari-hari
lamanya, namun tidak pernah ada yang kalah maupun menang. Meskipun
perilaku kedua binatang buas ini kerap mengganggu ketenteraman, namun
tak satu pun hewan yang berani menghentikan pertikaian mereka.
Suatu ketika, si Baya dan si Sura merasa bosan terus-terusan berkelahi. Mereka sepakat untuk berdamai.
“Hai, Baya. Aku sudah bosan terus-terusan berkelahi,” kata si Sura.
“Benar katamu. Aku pun merasa demikian,” jawab si Baya. “Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan permusuhan ini?”
“Hmmm...
bagaimana kalau daerah kekuasaan kita bagi dua. Aku sepenuhnya berkuasa
di dalam air. Semua mangsa yang ada di dalam air menjadi bagianku.
Sementara kamu sepenuhnya berkuasa di daratan. Jadi, mangsamu hanya yang
berada di daratan,” usul Sura. “Tapi, perlu kamu ketahui bahwa antara
darat dan air yaitu adalah tempat yang dicapai air laut pada waktu
pasang.”
“Baik, Sura. Aku setuju dengan usulanmu,” jawab si Baya.
Sejak
itulah, si Baya dan si Sura tidak pernah lagi berkelahi.
Binatang-binatang lain yang ada di sekitar mereka pun hidup tenteram dan
damai. Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Gara-garanya adalah
Si Sura beberapa kali mencari mangsa di sungai, bukan di laut. Suatu
hari, ketika si Sura mencari mangsa di sungai, si Baya akhirnya
memergokinya. Tentu saja si Baya marah sekali melihat perilaku Si Sura.
“Hai,
Sura. Berani-beraninya kamu memasuki wilayah kekuasaanku! Mengapa kamu
melanggar perjanjian kita?” tanya si Baya dengan kesal.
“Siapa
yang melanggar perjanjian? Hai, Baya, apakah kamu ingat isi perjanjian
kita dulu bahwa akulah yang berkuasa di wilayah air? Bukankah sungai ini
juga ada airnya?” kata si Sura.
Benar apa yang dikatakan si Sura. Tapi, si Baya tetap bersikeras ingin mempertahankan daerah kekuasaannya.
“Hai,
Sura. Aku tahu kalau sungai ini ada airnya. Tapi, bukankah kamu lihat
sendiri bila sungai ini berada di darat?” tanya si Baya, “Itu berarti
sungai ini daerah kekuasaanku, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di
laut.”
Namun, si Sura tetap merasa bahwa alasannya yang paling kuat.
“Tidak bisa, Baya! Aku tidak pernah mengatakan bahwa air itu hanya ada di laut, tetapi air itu juga ada di sungai.”
“Hai, Sura. Kamu memang sengaja mencari gara-gara. Aku tidak sebodoh yang kamu kira,” kata si Baya.
“Ha...
ha... ha...,” si Sura tertawa terbahak-bahak. “Hai, Baya. Aku tidak
perduli kamu bodoh atau pintar. Yang jelas sungai ini adalah wilayah
kekuasaanku!”
Merasa ditipu, si Baya pun meminta agar perjanjian itu dibatalkan dan menantang si Sura untuk saling mengadu kekuatan.
“Baiklah
kalau begitu, Sura. Perjanjian kita batal! Yang penting sekarang, siapa
yang lebih kuat di antara kita, dialah yang akan menjadi penguasa
tunggal di wilayah ini,” tegas si Baya.
“Kamu menantangku berkelahi lagi, Baya? Siapa takut?” jawab si Sura.
Akhirnya,
pertarungan sengit pun kembali terjadi antara kedua binatang buas itu.
Kali ini, mereka bertarung mati-matian karena siapa pun di antara mereka
yang kalah, dia harus meninggalkan wilayah tersebut. Tanpa menunggu
waktu lagi, si Baya langsung menerjang si Sura yang berada di dalam air.
Sementara itu, si Sura yang sudah bersiap-siap dengan cepat berkelit
menghindari serangan.
Si
Sura dan si Baya masih saling menerkam dan menggigit. Dalam suatu
serangan, si Sura berhasil menggigit pangkal ekor si Baya. Air sungai
yang semula jernih pun langsung berubah menjadi merah akibat darah yang
keluar dari luka si Baya. Meskipun dalam keadaan terluka parah, si Baya
terus berupaya melakukan perlawanan. Usahanya tidak sia-sia karena ia
berhasil menggigit ekor si Sura hingga hampir terputus. Tak ayal, si
Sura pun menjerit kesakitan seraya melarikan diri menuju lautan.
Si
Baya merasa puas karena mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat setempat menamakan daerah
tersebut “Surabaya”, yaitu diambil dari gabungan kata Sura dan Baya. Oleh pemerintah setempat, gambar ikan Sura dan Buaya dijadikan sebagai lambang kota Surabaya yang hingga kini masih dipakai.
* * *
Demikian cerita Asal Usul Nama Surabaya
dari daerah Jawa Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di
atas adalah bahwa sifat serakah seperti yang dimiliki si Sura dapat
mendatangkan kerugian. Akibat keserakahannya, si Sura hampir kehilangan
ekornya akibat gigitan si Baya. (Samsuni/sas/281/10-11)
Diceritakan kembali oleh Samsuni
Sumber: http://ceritarakyatnusantara.com