Sejarah Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Kerajaan Blambangan. Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Pada masa ini secara administratif VOC
menganggap Blambangan sebagai wilayah kekuasannya, atas dasar
penyerahan kekuasaan jawa bagian timur (termasuk blambangan) oleh Pakubuwono II
kepada VOC. Namun VOC tidak pernah benar-benar menancapkan kekuasaanya
sampai pada akhir abad ke-17, ketika pemerintah Inggris menjalin
hubungan dagang dengan Blambangan. Daerah yang sekarang dikenal sebagai
"kompleks Inggrisan" adalah bekas tempat kantor dagang Inggris.
VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaanya atas Blambangan
pada akhir abad ke-18. Hal ini menyulut perang besar selama lima tahun (1767-1772). Dalam peperangan itu terdapat satu pertempuran dahsyat yang disebut Puputan Bayu
sebagai merupakan usaha terakhir Kerajaan Blambangan untuk melepaskan
diri dari belenggu VOC. Pertempuran Puputan Bayu terjadi pada tanggal 18 Desember 1771
yang akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Namun pada
akhirnya VOC-lah yang memperoleh kemenangan dengan diangkatnya R.
Wiroguno I (Mas Alit) sebagai bupati Banyuwangi pertama dan tanda
runtuhnya kerajaan Blambangan.
Tokoh sejarah fiksi yang terkenal adalah Putri Sri Tanjung
yang di bunuh oleh suaminya di pinggir sungai karena suaminya ragu akan
janin dalam rahimnya bukan merupakan anaknya tetapi hasil
perselingkuhan ketika dia ditinggal menuju medan perang. Dengan sumpah
janjinya kepada sang suami sang putri berkata: "Jika darah yang mengalir
di sungai ini amis memang janin ini bukan anakmu tapi jika berbau harum
(wangi) maka janin ini adalah anakmu". Maka seketika itu darah yang
mengalir ke dalam sungai tersebut berbau wangi, maka menyesalah sang
suami yang dikenal sebagai Raden Banterang ini dan menamai daerah itu
sebagai Banyuwangi.
Tokoh sejarah lain ialah Minak Djinggo, seorang Adipati dari
Blambangan yang memberontak terhadap kerajaan Majapahit dan dapat
ditumpas oleh utusan Majapahit, yaitu Damarwulan. Namun sesungguhnya
nama Minak Djinggo bukanlah nama asli dari adipati Blambangan. Nama
tersebut diberikan oleh masyarakat Majapahit sebagai wujud olok-olok
kepada Brhe Wirabumi yang memang keturunan dari kerajaan Majapahit.
Sumber: http://id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar